Rabu, 29 Desember 2010

memahami makna tabligh & mengenal sosok muballigh/muballighah

MEMAHAMI MAKNA TABLIGH,
DAN MENGENAL SOSOK MUBALLIGH/ MUBALLIGHAH

“Sampaikanlah olehmu apa yang datang dariku, walau hanya satu ayat”

(Al-Hadis)

Memahami Makna Tabligh

Dalam kegiatan rutin keagamaan, kita sudah sangat akrab dengan istilah tabligh. Kita juga sudah sangat akrab dengan istilah Tabligh Akbar, dan mengenal satu kelompok jama’ah yang menamakan diri sebagai jama’ah Tabligh. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tablîgh?
Secara bahasa, kata tabligh berasal dari kata ballagha-yaballighu-tablîghan yang berarti menyampaikan. Secara etimologis (asal-usul bahasa), sebenarnya kata tabligh merupakan bentuk transitif (muta’adi) dari kata intransitif (lazim) yaitu dari kata balagha-yablughu-bulûghan yang berarti sampai. Jadi, secara sederhana, tabligh berarti menyampaikan sesuatu (pesan) yang harus disampaikan kepada pihak-pihak tertentu (mukhâthab) sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Pembicaraan yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta menggunakan kata-kata yang fasih disebut kalâm balîgh (KH.A.Wahab Muhsin&Drs.T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balaghah hal. 21). Tuntutan keadaan atau situasi dan kondisi yang dimaksud misalnya:
1. Keadaan menyanjung, menuntut panjang lebar pembicaraan;
2. Keadaan mengejek, menuntut juga panjang lebar pembicaraan;
3. Berbicara di hadapan orang yang cerdas menuntut uraian singkat;
4. Kedunguan orang yang diajak bicara (mukhâthab), menuntut pembicaraan yang jelas dan diulang-ulang;
5. Keingkaran orang yang diajak bicara (mukhâthab), menuntut pembicaraan yang diperkuat (bertaukid).
6. Dan sebagainya.
Dalam Al-Quran, pembicaraan disebut qoul atau qoulan sedangkan dalam kehidupan sehari-hari disebut kalam. Perbedaan makna antara qoulan dengan kalam adalah: qoulan meliputi pembicaraan lisan dan tulisan, sedangkan kalam hanya meliputi pembicaraan lisan saja. Karena itu, sesuatu yang akan dibicarakan atau akan dipidatokan atau akan dipresentasikan secara tertulis disebut maqâlah yang populer dengan istilah makalah.
Bentuk-bentuk pembicaraan (qoulan) dalam Al-Quran, amat kaya dan relatif bervariasi tergantung pada tuntutan situasi dan kondisi apa dan bagaimana, serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan. Ketika kita berbicara dengan seseorang yang berada di bawah kita, dalam arti umurnya, pengalamannya, dan pengetahuannya, sementara dia amat memerlukan bimbingan kita, maka gunakanlah pembicaraan yang simpel, yakni mudah dipahami dan disampaikan secara arif dan bijaksana, yang dalam Al-Quran disebut qoulan ma’rûfan (lihat QS.4:5). Ketika berbicara dengan seseorang yang secara psikologis menjadi bagian dalam hidup kita, misalnya dengan keluarga kita, tetapi pembicaraan yang akan dismpaikan menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan masalah hak dan kewajiban, maka gunakanlah pembicaraan yang efektif, yakni pembicaraan yang tepat kena sasaran (to the point), yang dalam Al-Quran disebut qoulan sadîdan (lihat QS.4:9). Ketika kita berbicara dengan lawan politik atau hendak menyampaikan pidato politik (kampanye) yang dimaksudkan untuk meyakinkan masa (publik) tentang misi, visi, dan perjuangan politik kita dan sekaligus untuk melemahkan lawan-lawan politik, maka gunakan pembicaraan yang berbekas, dalam arti yang meninggalkan kesan yang mendalam dan diplomatis, yang dalam Al-Quran disebut qoulan balîghaa (lihat QS.4:64). Ketika kita berbicara dengan penguasa yang otoriter dan diktator seperti Fir’aun, gunakanlah pembicararaan yang lemah lembut yang menyentuh hati dan perasaan serta membangkitkan kesadaran kemanusiannya, yang dalam Al-Quran disebut qoulan layyinan (lihat QS.20:44). Dan ketika kita berbicara di hadapan seseorang yang secara moral dan etika patut kita hormati; mungkin karena faktor usia yang lebih tua, atau boleh jadi karena pengalaman dan pengetahuannya, atau mungkin karena kedudukannya, maka gunakan pembicaraan yang penuh saya hormat dan tidak menggurui, yang dalam Al-Quran disebut qoulan karîman (lihat QS.17:23). Dan masih banyak bentuk-bentuk pembicaraan yang dicontohkan dan diajarkan Al-Quran yang amat memperhatikan dan sangat menyesuaiakan dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Contoh-contoh tersebut di atas, sekaligus memberi pelajaran bahwa ketika kita mempelajari Al-Quran, maka yang semestinya kita pelajari, bukan hanya isi (conten) atau pesan moralnya saja, tetapi harus kita pelajari juga tentang bagaimana cara menyampaikan (men-tabligh-kannya) kembali ajaran Al-Quran itu kepada orang lain secara baik dan benar. Bahkan agar kita dapat menyampaikan kembali hikmah dan pelajaran Al-Quran secara baik dan benar, serta mampu memberikan kesan yang mendalam (atsar) dan memberikan pencerahan dan solusi kehidupan umat manusia, selain harus dipelajari secara teoritis dan praktis, seorang muballigh patut juga melengkapi dirinya dengan latihan-latihan (riadhah) spiritual seperti mengintensifkan shalat malam (tahajjud), rajin membaca, memahami, dan menghayati ayat-ayat Al-Quran, dan lain-lain, niscaya Allah Yang Maha Agung akan menganugrahi kepada orang tersebut pembicaraan yang berbobot, yang dalam Al-Quran disebut qoulan tsaqîlan. Mengapa demikian? Sebab, pesan atau misi yang akan disampaikan bukan pesan manusia, melainkan pesan atau risalah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, diperlukan adanya penyesuaian akhlak dan kepribadian dari sang penyampai pesan-pesan tersebut. Mari kita simak, pesan Allah SWT berikut ini:
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit dari padanya, yaitu setengahnya atau kurang dari setengahnya, atau lebih dari setengahnya, dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepada-Mu perkataan yang berbobot” QS.73:1-5).
Adapun secara akademik, ilmu yang mempelajari tentang metoda dan gaya pembicaraan yang efektif serta sesuai dengan tuntutan keadaan disebut ilmu balahgah, atau dalam ilmu komunikasi disebut ilmu retorika.

Mengenal Sosok Muballigh dan Muballighah

Dengan demikian, setelah kita mengikuti uraian tersebut di atas, kita mulai mengenal siapa sebenarnya sosok muballigh dan muballighah itu. Ternyata, mereka bukan golongan manusia biasa, melainkan golongan manusia yang amat istimewa dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga adalah golongan yang patut mendapat tempat yang mulia dan terhormat di hadapan manusia dan patut didukung segala kifrah dan perjuangannya. Karena, dipundak merekalah tanggung jawab kehidupan umat dan perbaikan masa depan kehidupannya. Muballigh/ muballighah merupakan profesi yang bukan saja diakui keberadaannya oleh manusia, tetapi difasilitasi oleh Allah SWT. Selama mereka komit pada perjuangannya, maka setiap derap langkahnya selalu diback up, dipandu, dan ditolong oleh Allah. Karena itu, di setiap zaman dan pada setiap tempat, manusia sangat membutuhkan kehadiran mereka; Mereka tak ubahnya pelita bagi kehidupan; Mereka benar-benar wakil Allah dan pelanjut estapeta perjuangan Rasulullah SAW. Untuk itu, mari bergabung bersama mereka! Mari belajar lebih bersungguh-sungguh lagi untuk menjadi seperti mereka.
Secara teoritis, seseorang yang layak disebut muballigh atau muballighah adalah Pembicara yang berbakat merangkai kalimat-kalimat atau susunan pembicaraan yang baik, benar (fasih), dan indah, serta sesuai dengan tuntutan keadaan (KH.A.Wahab Muhsin&Drs.T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balaghah hal. 21). Karena itu, dalam ilmu balaghah, seorang muballigh atau muballighah disebut mutakallim balîgh. Dengan demikian, seseorang layak disebut muballigh atau muballighah apabila dalam dirinya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menguasai materi pembicaraan, yakni sesuatu yang akan disampaikan;
2. Menguasai keadaan, situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dalam istilah komunikasi disebut menguasai masa;
3. Mampu menyampaikan pebicaraan secara komunikatif, efektif, dan menarik;
4. Mampu meninggalkan kesan pembicaraan yang mendalam, mencerahkan, dan memberikan solusi bagi setiap orang yang mendengarkannya;
5. Mampu meningkatkan kedewasaan (keteladanan) bagi orang yang menyampaikan pembicaraannya. Karena, secara filosofis, tabligh, muballigh, dan muballighah, merupakan sebuah proses menuju kedewasaan. Demikian, Wallaahu a’lam []
IKHLASH
Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan; "Allah berfirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan, dan Aku terbebas darinya'." (HR. Muslim)

Dan dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sebagai berikut :
Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkana gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? "Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?"
Allah menjawab, "Ada, yaitu besi" (Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi).
Para malaikat pun kembali bertanya, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?"
Allah yang Mahasuci menjawab, "Ada, yaitu api" (Besi, bahkan baja bisa menjadi cair, lumer, dan mendidih setelah dibakar bara api).
Bertanya kembali para malaikat, "Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?"
Allah yang Mahaagung menjawab, "Ada, yaitu air" (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air).
"Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?" Kembali bertanya para malaikta.
Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, "Ada, yaitu angin" (Air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung, dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tersimbah dan menghempas karang, atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yang tengah berlayar, tiada lain karena dahsyatnya kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).
Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?"
Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, "Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya."
Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.
Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yang ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adalah hamba yang bersedekah, tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenarnya selalu rindu akan pujian, penghormatan, penghargaan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik untuk memamerkan segala apa yang ada pada diri kita ataupun segala apa yang bisa kita lakukan. Apalagi kalau yang ada pada diri kita atau yang tengah kita lakukan itu berupa kebaikan
Ikhlas berarti membersihkan tujuan beribadah kepadaAllah SWT dari segala noda yang mengotorinya, memfokuskan ibadah hanya kepada Allah SWT dan bahkan bisa juga berarti tidak memperhatikan alam sekitar karena yang ada di matanya hanyalah Allah SWT semata.

Ikhlas adalah syarat diterimanya amal shalih yang berlandaskan sunnah Rasulillah saw. Allah memerintahkan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal, firmanNya :

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam[menjalankan] agama yang lurus [QS. 98:5].

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra. disebutkan ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan bertanya : “apa yang akan diperoleh oleh seseorang yang berjuang karena ingin mendapatkan imbalan dan popularitas ?” Beliau menjawab : “dia tidak akan mendapatkan apa pun”, lalu orang itu mengulangi pertanyaannya tesebut sampai tiga kali dan Rasulullah tetap menjawab dengan jawaban yang sama, kemudian bersabda : “Allah hanya menerima amal yang disertai dengan keikhlasan dan karena ingin mencari ridhaNya”.[Hr. Abu Daud da Nasa’i dengan sanad hasan].

Dalam hadis lain diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri ra. bahwa Rasulullah bersabda ketika haji wada’ : “semoga Allah menyinari seseorang yang mendengarkan sabdaku ini dan menghafalnya, karena berapa banyak pembawa ilmu yang ia sendiri tidak mengerti, ada tiga perkara yang tidak akan dikhianati oleh hati seorang mukmin : ikhlas beramal karena Allah, saling menasihati di antara pemimpin kaum muslimin dan tetap berada dalam jamaah mereka.” [Hr. al-Bazzar dengan sanad hasan dan Ibn Hibban].

Maksudnya, ketiga perkara ini dapat memperbaiki hati seorang mukmin, karena barang siapa memiliki ketiganya, maka hatinya akan bersih dari penyakit khianat, perusak dan sifat jahat.

Yang dapat menyelamatkan seorang hamba dari godaan setan hanyalah sifat ikhlas, sebagaimana firman Allah SWT. : kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka, [QS. 38:83].

Diriwayatkan bahwa ada seorang yang shalih pernah berkata pada dirinya sendiri :” wahai jiwa, ikhlaslah, niscaya kamu akan selamat.”

Segala kenikmatan dunia, sedikit ataupun banyak, akan dirasakan oleh jiwa manusia dan hatinya akan condong kepadanya. Jika perasaan ini muncul ketika beramal, maka hati yang jernih akan tercemar dan keikhlasan akan sirna. Manusia selalu diliputi oleh hasratnya, sedikit sekali perbuatan ataupun ibadahnya yang terbebas dari tujuan-tujuan sesaat ini. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang menyempatkan sedikit saja dari umurnya untuk ikhlas kepada Allah, maka ia akan selamat. Ini semua karena kemuliaan ikhlas dan sulitnya membersihkan hati dari noda-noda. Jadi, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda, sedikit ataupun banyak, sampai ia dapat mengosongkan tujuan beribadah dan pembangkit hatinya hanya kepada Allah. Ini semua tidak dapat ditemukan kecuali pada diri orang yang cinta kepada Allah yang semua kepentinganya hanyalah untuk akhirat dan tidak ada tempat dalam hatinya untuk mencintai dunia. Sebagai contoh ketika ia makan, minum atau pun memenuhi hajatnya, maka semua itu
dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan niat yang benar. Barang siapa tidak memiliki sifat-sifat di atas maka pintu ikhlas tetutup baginya, kecuali hanya beberapa gelintir orang saja.

Barang siapa cinta kepada Allah dan akhirat maka gerakan refleknya hanya untuk mencarinya dan ikhlas karena-Nya. Lain halnya dengan orang yang selalu memikirkan dunia, kedudukan, tampuk pimpinan, dan segala yang selain Allah, maka semua gerakannya hanya akan tertuju padanya, sehingga ibadah yang dilakukannya, baik itu berupa puasa, shalat dan lainnya tidak akan lepas darinya, kecuali hanya sedikit saja.

Cara melatih keikhlasan adalah dengan menghilangkan memikirkan keinginan hatinya, tidak tamak pada dunia, dan hanya memikirkan akhirat dengan jalan menguasai hatinya hanya untuknya. Cara-cara ini dapat memudahkan kita untuk ikhlas. Berapa banyak orang yang berusah payah dalam beramal dan ia menyangka bahwa itu semua dilakukannya dengan penuh keikhlasan karena Allah, akan tetapi sayang, ia termasuk orang-orang yang tertipu, karena ia tidak memperhatikan hal-hal yang merusaknya.

Dikisahkan bahwa ada seseorang yang selalu shalat di barisan pertama. Pernah pada suatu hari ia terlambat, sehigga ia shalat pada barisan kedua, maka ia merasa malu kepada orang-orang di sekitarnya yang melihatnya berada di barisan kedua. Dari sini dapat diketahui bahwa ia akan merasa senang dan tenang hatinya ketika ia shalat di barisan pertama karena ingin dilihat oleh orang lain. Ini adalah hal yangrumit dan pelik, sedikit sekali amal perbuatan yang selamat darinya, dan sedikit sekali orang yang menyadariya, kecuali orang yang diberikan taufik oleh Allah SWT. Dan orang-orang yang tidak memperhatikan hal ini kelak di hari kiamat akan menjumpai amal kebaikannya berubah menjadi amal kejahatan.

1 komentar: